Abdul Wahid*)
Aku bukan pemimpi yang terjamah dalam lakon lembutnya
kasur di etalase malam atau pun syahdunya hegemoni bantal berlatar siang. Aku
bukan pula pemimpi yang bersenandung dengan kidung-kidung utopis. Aku, cukuplah
bagi diriku, sesosok pemimpin dengan kontemplasi sebagai perigi di tengah
gersang dan menjadi mata air kehidupan.
Tinta sejarah belum lagi kering menulis peradaban,
namun nampaknya masyarakat telah letih membaca namanya. Ya, Dewan Perwakilan
Daerah –atau biasa dikenal DPD— ini terjun ke pemerintahan sejak Pemilu 2004. Namanya
tak begitu menyeruak, sebab mereka tak mau unjuk gigi di wajah orang-orang yang
berlalu lalang. Eitss… tapi tahukah
kau? Secara diam-diam aksinya dalam pemajuan daerah begitu menakjubkan. Itulah
DPD, meski dibilang ‘anak kemaren sore’, faktanya mampu membawa Indonesia
kedepan gerbang-gerbang kesejahteraan; seperti yang telah dijanjikan
mimpi-mimpi.
Awak
adalah bagian dari aksi-aksi nyata itu. Mewakili tanah batak, awak mau membuat
perubahan besar di tanah –yang kata orang ‘makmur’— ini. Beragam masalah silih
berganti merontokkan akhlaq anak-anak negeri. Maraknya senandung kematian
etika, pemerkosaan yang merajalela, kasus perampokan berserak dimana-mana, sampai
ironi kemiskinan yang semakin ganas mengharuskan awak bekerja keras menimang
pengabdian.
Ya, demi cinta awak pada ranah ini, awak berserah jika
harus nyawa awak terenggut; pun Tuhan tahu awak berusaha mengabdi pada negeri. Mungkin
dengan bermodal ketekunan, awak bisa memakmurkan daerah ini. Pertanian misalnya,
petani sudah cukup gerah dengan mahalnya harga pupuk; pun semakin murahnya
harga gabah hasil panen. Subsidi pemerintah dirasa tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan petani yang kian hari kian temaram. Bersebab itu, awak harus lebih
agresif dalam pengentasan masalah-masalah yang kian melanda kalangan petani;
agar petani dapat hidup makmur tanpa adanya pengesampingan kebutuhan.
Itu
sedikit mengenai pertanian, lain halnya dengan pengrajin ulos, kerajinan tangan
khas tanah awak ini. Mahalnya harga ulos yang bersebab kerumitan pengerjaannya,
menyebabkan masyarakat melirik barang-barang hasil produksi pabrik. Jelas hal
ini membuat para pengrajin mudah galau –begitu
bahasa anak mudanya— habis-habisan. Terang saja, hanya dari situlah pendapatan
mereka; untuk sesuap nasi yang mengisi celah-celah perut mereka. Pemberian
modal dari dana APBD bagi para pengrajin ulos dirasa sangat perlu, agar ranah
ini tak kehilangan identitasnya sebagai ranah sejuta kreasi.
Aih,
itu baru segelintir ironi yang baru-baru ini hadir di tengah-tengah kita. Belum
lagi kasus perampokan bersenjata tiada tara; meluluh lantakkan jiwa-jiwa yang
tak bernoda. “Harus berapa banyak lagi air mata yang terpelanting ke rawa
pipi?” tetangga-tetangga kami berkata demikian; menyimak derita yang tiada
kentara. Ini tugas awak! Untuk apa Polisi berbadan tegap, atau TNI berjiwa
kuat? Bersebab memang itulah tugas mereka, mencipta keamanan tanpa pengrusakan.
Dengannya, masyarakat akan damai bersama alam, mencumbu senja di petang nestapa.
Tak akan ada lagi nyanyian kelaparan anak-anak rawa, ataupun rasa kecewa
penikmat jalanan kota. Awak akan realisasikan ini di ranah ini, dengan Tuhan
sebagai saksinya. Semoga Tuhan mengizinkan kita menyemai harapan di gubuk-gubuk
pengorbanan kita, semoga…..
Untukmu, rakyatku…
__________________________________________
*) Penulis adalah siswa di salah satu sekolah negeri di Binjai, Sumatera Utara