Abdul Wahid
“Dan
pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya
kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan
tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak
jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau
yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz). Q.S. Al-An'aam: 59
Institut
Teknologi Bandung; kampus ter-masyhur, kampus ter-indah, kampus ter-bagus,
kampus ter-sopan, kampus ter-disiplin. Kampus tempat bernaungnya orang-orang
terbaik dari seluruh Indonesia, kampusnya siswa-siswi hasil ‘tempaan’ BimBel,
juga merupakan tempat kuliah anak-anak -yang katanya- ‘terkaya’ Bangsa, begitu
kata orang tentang Institut Teknologi Bandung; kampus dambaan siswa-siswi
se-Indonesia yang akan menamatkan masa SMA, kampus yang sepanjang sejarahnya
mampu menetaskan engineer-engineer
berkualitas yang mampu bersaing dengan engineer
dari negara lain. Inilah kisahku menuju kampus idaman, kampus yang katanya berwarna-warni;
kampus yang kerennya tiada tara. Saksikanlah, petualanganku mencari pelangi;
mencari hujan yang sempat dicuri.
Adalah
aku; satu dari ribuan orang beruntung yang berkesempatan menjejaki kampus
terbaik ini. Entahlah, sampai sekarang aku juga belum tau mengapa ITB
‘menculik’ jiwa dan ragaku untuk bergabung bersamanya. Dan rasanya masih ada
rasa tak pantas, jika aku harus bergabung dalam keluarga besar ITB; apalagi di
fakultas besar bernama Sekolah Teknik Elektro dan Informatika. Ah, hati kecilku
seringkali berbisik, “adapun yang terjadi
ini; semua karena cintaNya; cinta kasih kepada hambaNya.”
Adalah
aku; seorang biasa yang dilahirkan oleh orang luar biasa; orangtuaku. Ya,
orangtuaku; yang senantiasa memberiku semangat, motivasi, harapan, serta angan
yang membuatku kuat hingga saat ini. Merekalah; orangtua yang paling cinta pada
anaknya, melebihi cinta mereka pada diri mereka sendiri. Adapun kakak-kakakku,
mereka ber-empat yang senantiasa memberi dorongan secara material dan ruhaniyah
untukku. Meski terkadang menyebalkan, ketahuilah; aku mencintai kalian dengan
sepenuh hatiku, dan....aku bangga dan bahagia telah terlahir dari keluarga ini;
keluarga yang nyaman dan membawa kenyamanan, keluarga yang damai dan membawa
kedamaian, keluarga yang ceria dan membawa keceriaan; dan...ini semua karena cinta.
Ya;
semua karena cinta, sejak saya mengidamkan ITB kala SMP dulu; kelas IX
tepatnya. Saat itu, kakakku sedang melihat-lihat daftar Perguruan Tinggi di
Indonesia, penasaran, sesekali aku melirik ke arah kertas-kertas yang kakakku
lihat itu. Seluruh Perguruan Tinggi Negeri aku pelototi satu persatu, sampailah pada satu perguruan tinggi yang
namanya agak mencolok; Institut Teknologi Bandung. Aku tertarik dengan Fakultas
Teknik Pertambangan dan Perminyakan, apalagi ditambah dengan cerita dari
kakakku mengenai fakultas tersebut. Dan terlintaslah sebuah angan untuk menuju
kampus itu, yang lagi-lagi katanya terbaik di negeri ini. Tapi, angan
tinggallah angan, mimpi hanyalah mimpi. Aku mengidamkan, tapi rasanya aku tak
memiliki niat yang kuat untuk bisa masuk ke kampus itu. Sebab, aku berpikir
rendah tentang diriku; mana bisa orang dari kampung pedalaman lulus di kampus
se-bagus itu? Ah, mimpi. Lagi-lagi aku mimpi; mimpi aneh di siang bolong.
Semua
karena cinta, ketika mimpiku tentang ITB berlanjut sampai ke SMA. Seringkali,
aku melihat berita-berita tentang kehebatan kampus ganesha itu. Ah, rasanya
kelas XI SMA masih belum pantas berangan-angan masuk ke kampus tersebut. Ku
kuatkan hatiku, “You can do it! You can
do it!” Baiklah, masalah hati sudah selesai, sekarang masalahnya berbeda.
Aku tak lagi mengidamkan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, saat itu
aku mengidamkan...Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati. Lah, kenapa? Ya, jelas. Fakultas
itu adalah fakultas yang cukup rendah passing gradenya. Aku mengenal diriku;
kemampuanku. Itu sebabnya mengapa aku memilih SITH di kelas XI.
Ini
semua karena cinta, kala galau
menguasai diriku. Ya, aku sudah naik ke kelas XII, masa-masa akhir di tingkat
menengah atas. Di kelas XII ini, aku harus merangkai peta hidup; termasuk
sesegera mungkin menentukan PTN yang akan aku tempati untuk berguru ilmu
setelah menamatkan masa SMA. Di semester pertama kelas XII, aku memfokuskan
diri pada Ujian Nasional yang merupakan penentu lulus atau tidaknya masa SMA. Saat
itu, aku hanya memfokuskan pada UN saja, dan soal PTN, itu urusan belakangan,
yang penting lulus dulu. Begitu pikirku kala itu. Di sela-sela masa belajar
untuk UN, kusempatkan sedikit waktu untuk mempelajari soal-soal SNMPTN
tahun-tahun lalu, serta mencari informasi beasiswa, Perguruan Tinggi Negeri,
Perguruan Tinggi Kedinasan, dan informasi lain yang dirasa perlu untuk
menunjang masa depanku. Aku berhasil mengonsep peta hidupku.
Dan
ini semua masih karena cinta. Bulan november adalah masa-masa sulit dalam
perjalanan masa SMA, selain harus mengejar prestasi akademik di Ujian Nasional,
aku juga harus mendaftarkan diri di Perguruan Tinggi Kedinasan, ataupun yang
sejenisnya. Lulus tak lulus, yang penting daftar dulu. Hari demi hari berlalu,
aku menemukan puncak dari masa sulitku. Ayahku sakit, seringnya beliau
mengeluarkan cairan dari lambungnya, dari hatinya, dari perutnya, juga dari duburnya.
Cairan itu disebut darah –begitu orang bilang-. Berulang kali kami
mengantarkannya ke rumah sakit terdekat untuk segera mendapat pertolongan; baik
itu transfusi darah, atau yang lainnya.
Semua..karena..cinta...
Hm, 3 Desember 2011. Ah, rasanya aku ingat sekali dengan tanggal itu. Tanggal
yang paling menyejarah dalam hidup, tanggal yang membuat hujan berkerumun
membasahi tanah, tanggal yang...tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ya,
tanggal itu adalah saat ayahku dipanggil oleh Allaah untuk kembali ke
hadiratNya; pukul 6 pagi tepatnya. Hari sabtu, yang harusnya digunakan
anak-anak untuk bermain bersama keluarga, berkumpul, dan bercengkrama. Tapi
mungkin, hari itu dijadikan rindu-rindu yang membasahi kalbu. Ah, rindunya aku
masa-masa itu; kala ayahku berpesan padaku untuk menjadi anak yang pintar, anak
yang pintar, anak yang pintar.
Dan
untuk Ayahku, ketahuilah, ada rindu yang dijahit oleh manisnya benang cinta
diujung kalbu. Ada sendu dibalik malu-malu. Ada sesuatu....yang akupun tak tau
apa itu. Aku rindu pada hidupmu. Pada rendahnya hatimu. Pada hangatnya pelukmu.
Pada...kasih, dan sayangmu..
Semua
masih karena cinta; kala pesan singkat menghujani ponselku, semua membunyikan
tema yang sama, “Akhi, semoga Allaah
menerima amal ibadah Ayahanda; dan semoga keluarga diberi ketabahan,
kesabaran...” Ah, pesan-pesan itu, rasanya bahagia sekali, ternyata masih
ada yang perhatian padaku, padahal tak banyak manfaat yang bisa kuberikan pada
mereka. Malah, ada seorang teman yang sampai sekarang masih aku ingat pesannya,
“Wahid, tetap semangat! Buat ayahmu
tersenyum di sana. Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan menantimu di
SNMPTN 2012.” Pesan itu, laksana api yang membakar semangatku untuk maju,
maju, dan maju. Dan, untuk sahabat-sahabatku; pelangimu yang memabukkan itu tak
akan bisa dihapus malam yang kelam sekalipun. Ana Uhibbukum fiLlaah.
Semua
karena cinta yang menggunung itu; aku jadi lebih bersemangat dan siap
mengahadapi halangan, juga tantangan di masa mendatang. Satu persatu masalah
bisa terselesaikan. Termasuk mendaftar di SNMPTN 2012 Jalur Undangan.
AlhamduliLlaah, Allaah memberiku kesempatan untuk mengikuti jalur undangan melalui
jalur Bidik Misi Dikti yang diadakan sebelum Ujian Nasional. Fix, aku memilih ITB dan ITS dalam
pilihan PTN di SNMPTN Jalur Undangan. Dan yang perlu diketahui adalah, aku
merubah pilihanku di semester kedua kelas XII, aku memutuskan untuk memilih...Fakultas
Teknik Mesin dan Dirgantara, aku sudah memantapkan hati untuk mengambil jurusan
Teknik Material di tahun kedua. Namun anehnya, aku tak meletakkan FTMD di
prioritas pertama, aku menaruhnya di pilihan kedua. Pilihan pertama aku pilih
Sekolah Teknik Elektro dan Informatika; dengan harapan tak lulus di pilihan
pertama. Dan memang, aku pesimis untuk
lulus di ITB, sebab kita semua paham, untuk masuk ke ITB itu harus mengalahkan
siswa-siswi terbaik dari seluruh Indonesia; dan rasanya, orang kampung
sepertiku ini tak pantas, dan mungkin akan jadi guyonan warga kampung saja.
Semua
karena cintaNya yang tak terhingga yang tak bisa dihitung jumlahnya. Ujian
Nasional menghampiri siswa-siswi se-Indonesia. AlhamduliLlaah, aku bisa
mengerjakan soal dengan lancar, dan tak ada hambatan yang berarti. Kala
hari-hari ujian Nasional selesai, aku berangkat ke Berastagi; membantu kakakku
berdagang roti bakar. Lumayan, seribu dua ribu bisa mengisi pundi-pundi yang
haus karena kemarau panjang. Sehari sebelum pengumuman UN, aku pulang ke Binjai
karena esoknya aku harus ke sekolah untuk melihat pengumuman Ujian Nasional. The Day has come. Aku ke sekolah yang
penuh cinta; SMA Negeri 2 Binjai, bersama kakakku, kami menanti pengumuman
dengan harap-harap cemas. Dan, AlhamduliLlaah, aku lulus. Selesai sudah masa SMA yang indah itu. Aku harus bersiap
menuju masa depan yang telah Dia rencanakan. Di hari yang sama, pengumuman
SNMPTN Jalur Undangan dilaksanakan jam 17.00 sore. Memang, panitia SNMPTN
mempercepat jadwal dari yang telah ditentukan. Sesampainya di rumah, tepat jam
17.00 sore, aku langsung membuka laptop dan hendak melihat pengumuman. Jujur,
aku belum berani melihatnya. Aku cemas. Aku gundah gulana. Kecemasanku menggunung;
hingga sampailah sepucuk pesan menghampiri ponselku, “AlhamduliLlaah, Hid. Saya lulus di Fakultas Kedokteran Univ. Sumatera
Utara..” Salah seorang sahabatku lulus di Fakultas paling prestisius di
Universitas tersebut. Aku bahagia, sangat bahagia. Satu persatu pesan
berdatangan, dan kesemuanya memberi kabar bahagia. Akhirnya, aku beranikan diri
melihat pengumuman... Perlahan ku ketik alamat websitenya, ku ketik nomor pendaftaran, lalu NISN. Dan hanya
Allaah-lah yang Maha Berkehendak; aku telah merelakan hidupku padaNya, aku
ridho pada apa yang diturunkanNya, dan aku hanya berharap yang terbaik dariNya.
Aku terperanjak, sebuah pesan manis tampil di depan layar, “Selamat, Anda dinyatakan lulus melalui SNMPTN - Jalur Undangan di
Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) Institut Teknologi Bandung.”
Tersentak, aku langsung sujud syukur dan teriak keras; menangis dan tak bisa
berbuat apa-apa.
“Oh,
Allaah... Berjuta kata syukur terucap-pun tak akan bisa mewakili nikmat-Mu yang
teramat banyak..”
...sebab
semua karena cinta...